Kamis, 29 Januari 2009

10 Resep Sukses Bangsa Jepang

10 Resep Sukses Bangsa Jepang

Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak terkena bom atom sekutu
(Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil bangkit. Mau tidak mau
harus diakui saat ini Jepang bersama China dan Korea Selatan sudah
menjelma menjadi macan Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi.
Alhamdulillah saya mendapat kesempatan 10 tahun tinggal di Jepang
untuk menempuh studi saya. Dalam artikel sebelumnya saya mencoba
memotret Jepang dari satu sisi. Kali ini, saya mencoba merumuskan 10
resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses seperti sekarang. Tentu
rumusan ini di beberapa sisi agak subyektif, hanya dari pengalaman
hidup, studi, bisnis dan bergaul dengan orang Jepang di sekitar
perfecture Saitama, Tokyo, Chiba, Yokohama. Intinya kita mencoba
belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil untuk membangun
republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang selalu
baik, tentu jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif yang tidak
harus kita contoh

1. KERJA KERAS

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras.
Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat
tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911
jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun).
Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari,
sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat
mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa
melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang
cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan "agak memalukan" di Jepang,
dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk "yang tidak dibutuhkan"
oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam
(tepatnya pagi ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena
Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang.
Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah
sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri
(bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era
samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia
modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena "mengundurkan diri" bagi
para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi
atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah
anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau
tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang
memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya
dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara
otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang
membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton
sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di
stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu
terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun
norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap
anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang
kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat
terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di
supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata
sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong
harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup.
Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada
pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik
sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih
murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki
mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan
bus dan kereta untuk bepergian. Termasuk saya dulu sempat berpikir
kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak tanah yang merepotkan masih
digandrungi, padahal sudah cukup dengan AC yang ada mode dingin dan
panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah daripada
listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus,
bareng dengan mahasiswa-mahasiswanya.

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan
tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan
Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan.
Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun.
Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya
mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik
sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota
Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri
yang sangat tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat. Loyalitas
penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan punya
komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah
Hofu menjadi kota makmur dan modern. Bahkan saat ini kota industri
terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

5. INOVASI

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan
dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk
yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang
mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak
ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip
Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model
portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun
adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun
1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total
produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda
empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang
Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan
industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang
dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah
dirawat dan lebih hemat bahan bakar. Perusahaan Matsushita Electric
yang dulu terkenal dengan sebutan "maneshita" (peniru) punya legenda
sendiri dengan mesin pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang
engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif untuk meniru teknik
pembuatan roti dari sheef di Osaka International Hotel, menghasilkan
karya mesin pembuat roti (home bakery) bermerk Matsushita yang
terkenal itu.

6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting
dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang
menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam
teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang
cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya
alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor
minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi
Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau
Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang
akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya
Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo.
Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang
sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta
cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita
Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis
peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari
nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era
kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika
menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain.
Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik
bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini
mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu
kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini

7. BUDAYA BACA

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta
listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa
sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri,
banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak
penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk
materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran
Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat
minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah
komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung
oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa
inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan
buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya
institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern.
Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa
minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Saya biasa membeli buku
literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah
daripada buku asli (bahasa inggris).

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu
bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya
ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya
di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti
itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk
kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar
orang Jepang. Ada anekdot bahwa "1 orang professor Jepang akan kalah
dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika
tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang
berkelompok". Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan "rin-gi"
adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan
dalam "rin-gi".

9. MANDIRI

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya
yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia
harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan
siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang
menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa
perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya
sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak
meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di
Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah
dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka "meminjam"
uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang
kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah
untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta
maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik
sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau
yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan. Sampai saat ini orang
Jepang relatif menghindari berkata "tidak" untuk apabila mendapat
tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan
dengan orang Jepang karena "hai" belum tentu "ya" bagi orang Jepang
Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang.
Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang
murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi
para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian
mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa
insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia
pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Mungkin seperti itu 10 resep sukses yang bisa saya rangkumkan. Bangsa
Indonesia punya hampir semua resep orang Jepang diatas, hanya mungkin
kita belum mengasahnya dengan baik. Di Jepang mahasiswa Indonesia
termasuk yang unggul dan bahkan mengalahkan mahasiswa Jepang. Orang
Indonesia juga memenangkan berbagai award berlevel internasional. Saya
yakin ada faktor "non-teknis" yang membuat Indonesia agak terpuruk
dalam teknologi dan ekonomi. Mari kita bersama mencari solusi untuk
berbagai permasalahan republik ini. Dan terakhir kita harus tetap mau
belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar